PERISTIWA 

Nuyang: Pendoa yang Lupa Nama Tuhannya

 

JAKARTA (litera) — Ketika memilih ruang puisi, Nuyang Jaimee sepenuhnya sadar bahwa ia telah masuk ke dalam ruang yang begitu sunyi. “Puisi yang telah saya pilih, yang telah anda pilih, yang telah teman-teman semua pilih, yang telah kita semua pilih, adalah sebuah keniscayaan dari hati paling sepi, langkah paling sunyi dan kata tanpa suara paling hakiki,” katanya.

Namun, lanjutnya, begitu puisi memberi keriuhan pada pikiran-pikirannya serupa aksara-aksara yang bebas berterbangan di kepala dan saling bertubrukan lincah menciptakan serangkaian paragraf-paragraf yang memiliki kekuatan metafisis dan memberi kesadaran baru.

“Kesadaran baru itu menggugah hati dan jiwa saya,” tambah penyair Perempuan tersebut ketika menjawab pertanyaan dari beberapa peserta yang hadir dalam peluncuran dan bedah buku antologi puisi Pendoa yang Lupa Nama Tuhannya di PDS.HB.Jassin, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Jumat (1/12).

Pada peluncuran buku antologi puisi tersebut, juga diadakan diskusi sastra dengan nara sumber Prof Dr Wahyu Wibowo dan Tatan Daniel. Bertindak selaku moderator Rita Sri Hastuti, dan MC Santined serta Nanang R Supriyatin.

Lebih lanjut, Nuyang Jaimee, penyair kelahiran Jakarta 31 Maret 1977 itu, mengatakan, menulis puisi bukan sekedar mengenai proses mengungkapkan isi kepala saja. Tetapi juga menjadi tempat untuk berbicara semua kegelisahan dan pergolakan batin yang dalam, di mana semua ekspresi bebas keluar tanpa batas.

“Saya bisa teriak, melolong, menangis, tertawa, marah, protes tanpa mengumpat dan memaki semua kecamuk dalam hati dan pikiran, tempat di mana saya menemukan makna dan kebijaksanaan yang menghantarkan saya dalam perenungan yang lebih mengerucut pada sebuah pemahaman yang lebih universal,” kata penyair yang mulai menekuni dunia teater dan sastra sejak awal tahun 2000-an itu.

Puisi, menurutnya, seperti sebuah kesadaran kosmik yang teramat dalam, seperti ruang kedap suara yang steril yang membersihkan kotoran-kotoran pemikiran, energi negatif dan daya-daya rendah di luar kosmiknya. “Puisi tetap mampu menembus semua hal di alam semesta manusia dan seluruh isinya, karena sifatnya yang tak terbatas menyentuh apa saja di sekeliling dirinya.”

Karena sifatnya yang mampu mensterilisasi tersebut, bagi Nuyang Jaimee, puisi menjadi sebuah ruang tempat tumpahnya seluruh perasaan, imajinasi, sekaligus pemikiran yang teramat sakral.

“Karena puisi adalah sebuah kesadaran yang senantiasa bergerak dinamis, berputar dengan sendirinya sesuai kesadaran diri manusia, menjadikan keberadaan puisi menjadi sangat khas dan tidak bisa digantikan oleh karya sastra jenis lainnya,” katanya.

Buku kumpulan puisi Pendoa yang Lupa Nama Tuhannya ini sebenarnya bukan kumpulan puisi pertama Nuyang. “Sebelumnya kumpulan puisi saya berjudul Surat sudah pernah hampir saya terbitkan. Berisi hampir lebih dari tujuh puluh puisi pilihan. Namun karena beberapa faktor, takdir mengantarkan buku puisi Pendoa yang Lupa Nama Tuhannya yang berisi dua puluh puisi pilihan ini menjadi puisi pertama yang saya terbitkan,” katanya.

“Beberapa puisi di dalam buku ini, sudah dimuat di beberapa media sastra offline dan online atau kumpulan antologi puisi bersama,” tambah Nuyang Jaimee yang pada tahun 2004 pentas teater keliling ke-13 kota di Jawa dan berakhir di Bali dalam rangka Jakarta Art Festival 2004.

Puisi-puisi dalam buku ini sebagian besar ditulisnya dari hasil pergulatannya di Forum Seniman Peduli TIM (FSP-TIM), dengan gerakan bernama #SaveTIM di akhir tahun 2019 sampai sekarang. “Tadinya saya ingin berbangga diri dengan puisi-puisi perlawanan diri kepada kawan-kawan seperjuangan bahwa saya tetap berjuang tidak dengan senjata atau maju di garis depan menjadi tokoh perlawanan, tapi saya berjuang dengan karya, dengan puisi di ruang kesunyian yang sangat subtil dan mampu menohok batin lebih tajam dari ribuan pedang perang apapun,” katanya.

“Dengan tulisan dan raungan perih yang akan terus tercatat dalam sejarah, ia tetap hidup tak akan mati sampai kapanpun meski saya sudah pergi berkalang bumi. Tapi, sepertinya keperihan saya menjadi berlipat ganda, karena kelahiran puisi ini sungguh, tidak dalam kebahagiaan yang sesungguhnya. Sebab ada yang saya rindukan dari Forum Seniman Peduli TIM. Proses perjuangan #SaveTIM ini adalah sebuah kebersamaan dan cinta kasih yang hilang,” kilah Nuyang Jaimee yang pada tahun 2005 mulai menjadi kontributor berita untuk seni dan budaya pada Harian Umum Madina, dan majalah bulanan Buletin Warta PDS HB Jassin.

Meskipun begitu, Nuyang patut berbangga hati, karena hari itu, Jumat, 1 Desember 2023,  sejak awal proses kreatif ia selalu didamping oleh abangda, guru pergerakan puitic resistance  yang selalu mendukungnya untuk terus berjuang dan berkarya. “Dengan segala hormat, dia adalah Bapak Tatan Daniel dan Bapak Mujib Hermani,” katanya.

Pada akhirnya, proses kreatif Pendoa yang Lupa Nama Tuhannya itu menuntun  pada pemahaman tentang arti sebuah perjuangan dan keikhlasan dengan cara yang begitu sangat sederhana. “Ketika saya serahkan puisi-puisi ini ke para guru-guru saya yang kini duduk di tengah-tengah kita sebagai pembicara, hati saya berdebar-debar, seperti sebuah ujian kelulusan dimana saya akan dibantai dalam persidangan tesis S2,” katanya.

“Saya sadar semua energi yang dikeluarkan dalam menulis puisi-puisi ini hanyalah sebagian kecil saja yang saya curi dari mereka secara diam-diam. Menurut saya ini satu-satunya kasus pencurian yang dihalalkan. Namun, tetap tak sanggup saya melampaui kebajikan dan kebijaksanaan mereka. Karnanya, dengan berpura-pura merelakan diri dalam “pembantaian kreatif” pada hari ini saya bersyukur apapun dan bagaimanapun puisi ini sudah dilahirkan dan sejak saat ini dia sudah memiliki takdirnya sendiri di ruang publik,”  ucapnya.

Nuyang yang pada Juli 2004 mendirikan lembaga Cakra Budaya Indonesia (CBI) dan pada April 2017 menggagas gerakan komunitas Keluarga Besar Penyair Seksih (KBPS), dan September 2019 mendirikan Kelompok Teaterikal Puisi Penyair Seksih (KTPPS). Selanjutnya, Juli 2020 mendirikan Teater Cakra, dan Januari 2023 membentuk Komunitas Kampung Seni Jakarta (KSJ).

Sejak September 2019 hingga sekarang, Nuyang Jaimee ikut dalam gerakan #SaveTIM, bersama kawan-kawan seniman Taman Ismail Marzuki lainnya terkait Revitalisasi TIM. “Semoga buku kumpulan puisi ini bisa memberi sumbangsih dan peranan penting dalam mewarnai khazanah perpuisian Indonesia,” katanya. @ Red.

Kontributor: Lasman Simanjuntak

Penyunting: Elis Susilawati

Related posts

Leave a Comment

20 − sixteen =